LAPORAN RESMI PRAKTIKUM METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI LAUT Modul III CURAH HUJAN (PRESIPITASI) DAN PENGUAPAN (EVAPORASI)
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM METEOROLOGI DAN
KLIMATOLOGI LAUT
Modul III
CURAH HUJAN
(PRESIPITASI) DAN PENGUAPAN (EVAPORASI)
Oleh :
Zufita
Khairani
26020215130069
Oseanografi
B
Asisten
Praktikum :
Nabila Alia Pangestu
Iskandar 26020214130060
Indah Kurniasari 26020214130054
Kaisar Parti Hasudungan 26020214120012
Aufi Dina Amalina 26020214120010
Koordinator Praktikum :
Drs.
Heryoso Setiyono, M.Si
196510101991030005
PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2016
LEMBAR
PENILAIAN DAN PENGESAHAN
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
1
|
Pendahuluan
|
|
2
|
Tinjauan Pustaka
|
|
3
|
Materi dan Metode
|
|
4
|
Hasil dan Pembahasan
|
|
5
|
Penutup
|
|
6
|
Daftar Pustaka
|
|
7
|
Lampiran
|
|
Nilai Akhir
|
Semarang, 1 Mei 2016
|
|
||||||
|
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Tujuan
1.
Mahasiswa dapat
menganalisis data curah hujan dan penguapan
2.
Mahasiswa dapat
membuat diagram curah hujan dan penguapan
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Presipitasi
Presipitasi atau yang disebut juga curah
hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan
horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga dapat
diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
tidak menguap, tidak meresap dan
tidak mengalir. Indonesia merupakan negara yang memiliki angka curah hujan yang
bervariasi dikarenakan daerahnya yang berada pada ketinggian yang berbeda-beda.
(Suharyono, 2011) Curah hujan 1 (satu)
milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air setinggi satu millimeter termpat yang datar tertampung air
setinggi satu milimeter atau tertampung air setinggi 1 liter. (Nasution, 2010)
Menurut Arifin (2010), curah hujan ialah
jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak
terjadi penghilangan oleh proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang
diukur dalam satuan tinggi. Tinggi air hujan 1 mm berarti air hujan pada bidang
seluas 1 m2 berisi 1 liter. Unsur-unsur hujan yang harus
diperhatikan dalam mempelajari curah hujan ialah jumlah curah hujan, dan
intensitas atau kekuatan tetesan hujan.
Sedangkan menurut Handoko (1994), curah
hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal
bila tidak terjadi evaporasi, runoff dan infiltrasi. Satuan curah hujan
adalah millimeter atau inci.
Curah hujan merupakan salah satu unsur
iklim selain suhu, kelembapan, radiasi matahari, evaporasi, tekanan udara, dan
kecepatan angin. Hujan adalah air yang jatuh ke permukaan bumi sebagai akibat
terjadinya kondensasi dari partikel-partikel air di langit. Jumlah curah hujan
diukur sebagai volume air yang jatuh di atas permukaan bidang datar dalam
periode tertentu, yaitu harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Tinggi air ini
umumnya dinyatakan dengan satuan millimeter (Nawawi, 2001).
Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya
dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi
1 (satu) milimeter atau tertampung air sebanyak 1 (satu) liter atau 1000 ml. Presipitasi
didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan
bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm).
Jumlah curah hujan 1 mm, menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1
mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer.
(Tjasjono, 2004).
2.2.
Pengertian Evaporasi
Menurut Soemarto (1986), Evaporasi
adalah proses penguapan air laut oleh karena panas terik matahari. Evaporasi
adalah penguapan yang terjadi dari permukaan (seperti laut, danau, sungai),
permukaan tanah (genangan di atas tanah dan penguapan dari permukaan air tanah
yang dekat dengan permukaan tanah), dan permukaan tanaman (intersepsi). Laju evaporasi
dinyatakan dengan volume air yang hilang oleh proses tersebut tiap satuan luas
dalam satu satuan waktu; yang biasanya diberikan dalam mm/hari atau mm/bulan. Evaporasi
sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi, meliputi radiasi matahari (%), temperatur
udara (ºC, kelembaban udara (%), kecepatan
angin (km/hari). (Triatmodjo, 2008)
Menurut
Soedibyo (2003), Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air, tanah,
dan bentuk permukaan bukan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Energi
(radiasi) matahari dan ketersediaan air adalah dua unsur utama dari proses
evaporasi. Evaporasi dapat terjadi pada tubuh perairan (seperti laut, sungai,
danau, waduk) permukaan tanah dan tumbuh-tumbuhan (disebut transpirasi), adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan dan kelambatan evaporasi dan
transpirasi disuatu kawasan ada bermacam-macam antara lain : temperatur air dan
udara, kelembaban udara, kecepatan tiupan angin, tekanan udara, intensitas
sinar matahari, dan lain-lain. Kombinasi antara proses evaporasi dan
transpirasi merupakan evaporasi total (evapotranspirasi) yang juga disebut
dengan Consumtive use.
Evaporasi
adalah peristiwa perubahan air atau es menjadi uap dan naik ke atmosfir,
peristiwa tersebut berlangsung dari semua permukaan, misalnya permukaan tubuh
perairan, permukaan tanah, permukaan vegetasi, persawahan dan lain-lain.
Kecepatan evaporasi tergantung dari : suhu, kecepatan angin dan tekanan udara. (Suharyono,
2011)
2.3.
Siklus Presipitasi
Presipitasi
pada pembentukan hujan, salju dan hujan batu (hail) yang berasal dari kumpulan awan. Awan-awan tersebut
bergerak mengelilingi dunia, yang diatur oleh arus udara. Sebagai contoh,
ketika awan-awan tersebut bergerak menuju pegunungan, awan-awan tersebut
menjadi dingin, dan kemudian segera menjadi jenuh air yang kemudian air
tersebut jatuh sebagai hujan,s alju, dan hujan batu (hail), tergantung pada
suhu udara sekitarnya. (Soedibyo, 2003).
Presipitasi,
butiran-butiran air mikro dalam awan menjadi dinamis ketika ditekan oleh angin,
sehingga menyebabkan bertabrakan. Tabrakan antar butir ini menyebabkan
terjadinya curahan. Jenis curahan dipengaruhi oleh temperatur pada iklim suatu
daerah, dapat berwujud air ataupun salju, atau dimungkinkan terjadi hujan es
apabila suhu memungkinkan. (Suharyono, 2011)
Siklus
hidrologi dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa
oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi
membentuk awan, pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi jatuh
ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian
besar dari presipitasi tersebut sementara tertahan pada tanah di dekat tempat
ia jatuh. (Linsley, 1996)
2.4.
Siklus Evaporasi
Menurut Suharyono (2011), Evaporasi merupakan faktor
penting dalam siklus hidrologi, evaporasi sangat mempengaruhi debit sungai,
besarnya kapasitas waduk, besarnya kapasitas pompa untuk irigasi, penggunaan
konsumtif untuk tanaman. Air akan menguap dari tanah, baik tanah gundul atau
yang tertutup oleh tanaman dan pepohonan, permukaan tidak tembus air seperti
atap dan jalan raya, air bebas dan air mengalir. Laju evaporasi atau penguapan
akan berubah-ubah menurut warna dan sifat pemantulan permukaan dan hal ini juga
akan berbeda untuk permukaan yang langsung tersinari oleh matahari dan
terlindungi dari sinar matahari.
Siklus hidrologi
merupakan proses pengeluaran air dan perubahannya menjadi uap air yang
mengembun kembali menjadi air yang berlangsung terus-menerus tiada
henti-hentinya. Sebagai akibat terjadinya sinar matahari maka timbul panas.
Dengan adanya panas ini maka air akan menguap menjadi uap air dari semua tanah,
sungai, danau, telaga, waduk, laut, kolam, sawah dan lain-lain dan prosesnya
disebut penguapan (evaporation). Penguapan juga terjadi pada
semua tanaman yang disebut transpirasi (transpiration) (Soedibyo, 2003).
2.5.
Faktor-faktor yang mempengaruhi curah hujan
Faktor-faktor yang mempengaruhi presipitasi adalah
temperatur, tekanan udara, kelembaban nisbi, serta berbagai sebab lain, yang
menyebabkan terbentuknya awan, yang selanjutnya, apabila keadaan memungkinkan,
akan terjadi hujan. Istilah presipitasi meliputi segala bentuk curahan yang
berasal dari awan seperti: air dan salju. (Suharyono, 2011)
Menurut Suroso (2006),
7 faktor yang mempengaruhi curah
hujan adalah sebagai berikut:
§ Garis Lintang menyebabkan perbedaan kuantitas curah
hujan, semakin rendah garis lintang semakin tinggi potensi curah hujan yang
diterima, karena di daerah lintang rendah suhunya lebih besar daripada suhu di
daerah lintang tinggi, suhu yang tinggi inilah yang akan menyebabkan penguapan
juga tinggi, penguapan inilah yang kemudian akan menjadi hujan dengan melalui
kondensasi terlebih dahulu.
§ Ketinggian Tempat, Semakin rendah ketinggian tempat
potensi curah hujan yang diterima akan lebih banyak, karena pada umumnya
semakin rendah suatu daerah suhunya akan semakin tinggi.
§ Jarak dari sumber air (penguapan), semakin dekat
potensi hujanya semakin tinggi.
§ Arah angin, angin yang melewati sumber penguapan
akan membawa uap air, semakin jauh daerah dari sumber air potensi terjadinya
hujan semakin sedikit.
§ Hubungan dengan deretan pegunungan, hal itu disebabkan
uap air yang dibawa angin menabrak deretan pegunungan, sehingga uap tersebut
dibawa keatas sampai ketinggian tertentu akan mengalami kondensasi, ketika uap
ini jenuh dia akan jatuh diatas pegunungan sedangkan dibalik
pegunungan yang menjadi arah dari angin tadi tidak hujan (daerah bayangan
hujan), hujan ini disebut hujan orografik contohnya
di Indonesia adalah angin Brubu.
§ Perbedaan suhu tanah (daratan) dan lautan, semakin
tinggi perbedaan suhu antara keduanya potensi penguapanya juga akan semakin
tinggi.
§ Luas daratan, semakin luas daratan potensi
terjadinya hujan akan semakin kecil, karena perjalanan uap air juga akan
panjang.
2.6.
Hubungan Presipitasi, Evaporasi, Curah Hujan dengan
Parameter Oseanografi
Menurut Soedibyo
(2003) , Parameter utama dalam oseanografi umum antara lain
parameter fisika (suhu, arus, gelombang, dan pasang surut), dan parameter kimia
(salinitas, dan oksigen terlarut). Parameter tersebut merupakan penentu
karakteristik lautan yang paling utama dimana suhu mencerminkan kondisi cuaca
dan iklim pada perbedaan penerimaan intensitas cahaya matahari di darat maupun
di laut, arus menentukan kondisi pergerakan massa air di lautan, gelombang
menentukan arah angin dan kecepatannya di laut, pasang surut menentukan tipe berdasarkan
gaya gravitasi bulan dan letak lintang, salinitas menentukan kadar garam dan
mineral-mineral dari proses sedimentasi
pada wilayah tersebut,
serta DO (oksigen
terlarut) menentukan bagaimana kadar oksigen pada daerah tersebut.
Hubungan Presipitasi (curah hujan) dengan parameter
oseanografi yaitu jika presipitasi tinggi maka dapat diindikasikan bahwa curah
hujan tersebut dekat dengan titik penguapan. Presipitasi yang tinggi juga dapat
membuktikan tingginya perbedaan suhu antara daratan dengan lautan, membuktikan
bahwa suhu lautan jauh lebih tinggi sehingga terjadi penguapan tinggi dan curah
hujan ikut meninggi. Semakin tinggi presipitasi menandakan luas lautan lebih
besar daripada daratan. (Soedibyo, 2003).
Hubungan Evaporasi (penguapan) dengan parameter
oseanografi yaitu jika evaporasi atau penguapan tinggi, itu merupakan bukti
bahwa suhu udara di perairan tersebut panas. Jika suhu udara panas, itu
merupakan penanda bahwa di wilayah tersebut sedang tersinar matahari, jika
lautan terkena sinar matahari maka saat itu memiliki gelombang yang tinggi dan
lautan sedang pasang. Ketika lautan tersinari oleh matahari maka lautan akan
mengalami penguapan, penguapan dari stau perairan dapat menyebabkan salinitas
di perairan tersebut tinggi. Semakin banyak penguapan di
lautan maka oksigen terlarut di situ akan semakin rendah DO (oksigen terlarut).
Hal itu dapat terjadi karena semakin tinggi suhu semakin tinggi oksigen
perairan yang cepat bereaksi dengan zat lain untuk membentuk suatu senyawa yang
lebih kompleks, contohnya proses fotosintesis. (Triatmodjo,
2008)
2.7.
III.
MATERI DAN METODE
3.1.
Materi
Hari
/ Tanggal : Senin / 25 April 2016.
Waktu : Pukul 13.00 WIB s.d. selesai.
Tempat :
Ruang 206 Gedung E, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas
Diponegoro, Semarang.
3.2.
Metode
1.
Siapkan data
curah hujan dan penguapan bulanan dari Stasiun Meteorologi Maritim Semarang
selama periode tahun 2010.
2.
Siapkan kertas
mm blok. Buatlah dalam satu lembar kertas tersebut menjadi dua bagian, separuh
bagian atas untuk menggambarkan curah hujan dan separuh bagian bawah untuk
menggambarkan penguapan.
3.
Untuk
menggambarkan curah hujan ke dalam diagram blok, maka buatkan grafik-grafik
pada kertas mm blok yaitu garis vertikal arah ke atas untuk jumlah curah hujan
bulanan dan garis horizontal untuk fungsi waktu bulanan.
4.
Untuk
menggambarkan penguapan ke dalam diagram
blok, maka buatkan grafik-grafik pada kertas mm blok yaitu garis vertikal ke
arah bawah untuk jumlah penguapan dan garis horizontal untuk fungsi waktu,
yaitu bulanan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Tabel
4.1.1 Curah hujan dan Penguapan di Stasiun Meteorologi Maritim Semarang Periode
Tahun 2010
No.
|
Bulan
|
Jenis data
|
|
Curah Hujan (mm)
|
Penguapan (mm)
|
||
1
|
Januari
|
412,9
|
150,7
|
2
|
Februari
|
229,3
|
167,9
|
3
|
Maret
|
429,5
|
182
|
4
|
April
|
214,6
|
154,2
|
5
|
Mei
|
245,9
|
150,8
|
6
|
Juni
|
272,9
|
142,8
|
7
|
Juli
|
246,9
|
150,8
|
8
|
Agustus
|
134,6
|
182,1
|
9
|
September
|
169,5
|
178,1
|
10
|
Oktober
|
237,1
|
165,9
|
11
|
November
|
148,8
|
137
|
12
|
Desember
|
348,5
|
137
|
|
Total
|
3091,5
|
1899,3
|
4.2.
Pembahasan
Berdasarkan
tabel curah hujan dan penguapan di Stasiun Meteorologi Maritim Semarang Periode
Tahun 2010, curah hujan terbesar terjadi pada bulan Maret (429,5 mm) dan curah
hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus (134,6 mm). Sedangkan, penguapan
terbesar terjadi pada bulan Agustus (181,2 mm) dan penguapan terkecil terjadi
pada bulan November dan Desember (137,0 mm). Jumlah total curah hujan (3091,5
mm) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah total penguapan (1899,3 mm)
Terjadi
anomali pada curah hujan antara bulan Mei hingga bulan Juli. Jika pada umumnya
pada ketiga bulan ini sudah memasuki musim kemarau yang memiliki curah hujan
yang rendah atau setidaknya mulai menurun,
pada tabel ini, kenyataan yang terlihat justru sebaliknya. Curah hujan
bulanan masih tergolong tinggi dan cenderung naik pada bulan Juni.
Pada
umumnya Indonesia memiliki dua musim,
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara umum musim hujan terjadi antara
bulan Oktober-Maret dengan puncaknya sekitar bulan Desember sampai Februari,
disebabkan Monsun Dingin Asia. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan
April-September dengan puncaknya sekitar bulan Juni sampai Agustus, disebabkan
Monsun Dingin Australia. Musim di Indonesia selain dipengaruhi oleh Monsun dan
pengaruh lokal, juga dipengaruhi oleh adanya fenomena global, diantaranya
sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation),
sirkulasi Utara-Selatan (Hadley
Circulation), El Nino, La Nina, Indian Ocean Dipole dan lainnya.
Variabilitas
curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian chaotic
dari variabilitas monsun. Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence
Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi tahunan di
Indonesia, sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi
curah hujan antar-tahunan di Indonesia.
Meskipun
musim hujan dan kemarau terjadi secara periodik, tetapi panjang musim dan
jumlah curah hujan untuk setiap musim tidaklah selalu sama. Kondisi ini menunjukkan
bahwa musim di wilayah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh monsun, tapi
dibentuk juga oleh faktor lain yang berinteraksi dengan monsun untuk membentuk
musim tersebut. Faktor tersebut bisa jadi merupakan fenomena global yaitu El
Nino dan Indian Ocean Dipole.
Selain dapat
mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El-Nino juga berpengaruh terhadap
masuknya musim kemarau. Perubahan iklim akan mengakibatkan perubahan pola iklim
tahunan seperti terlambatnya awal musim hujan maupun musim kering. Di samping
itu periode musim hujan juga diperkirakan akan lebih pendek. Selain ENSO,
Terjadi pula gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan
atmosfer di Samudera Hindia di sekitar khatulistiwa yang disebut dengan IOD (Indian
Ocean Dipole). Indian Ocean Dipole
(IOD) adalah kondisi interaksi laut-atmosfer yang terjadi di samudera hindia
tropis. Selama fenomena IOD positif, suhu permukaan laut secara anomali
menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di bagian timur lebih dingin
dari normalnya Perubahan pada suhu permukaan laut selama IOD terjadi terkait
dengan perubahan medan angin di tengah samudera Hindia ekuator. Sehingga angin
bergerak berlawanan dari biasanya barat ke timur selama IOD positif. Selain
itu, proses konveksi yang biasanya terjadi di atas Samudera Hindia bagian timur
yang menghangat bergerak ke arah barat. Hasil dari kondisi tersebut adalah
hujan lebat di Afrika bagian timur dan meninggalkan wilayah Indonesia dengan
sedikit hujan, yang kemudian diikuti dengan kekeringan dan hutan yang terbakar.
Terkait dengan perubahan angin dan suhu
permukaan laut dan menyerupai fenomena ENSO, kondisi IOD mempengaruhi
konveksi di Indonesia dan curah hujan regionalnya
Indonesia
dikenal sebagai satu kawasan benua maritim karena sebagian besar wilayahnya
didominasi oleh lautan dan diapit oleh dua Samudera yaitu Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Oleh karena itu elemen (unsur) iklimnya terutama curah hujan
memungkinkan dipengaruhi oleh keadaan suhu permukaan laut (SPL) di sekitarnya.
Salah satu fenomena yang dicirikan oleh adanya suatu perubahan SPL yang
kemudian mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah fenomena yang terjadi di
Samudera Hindia yang dikenal dengan istilah Dipole
Mode (DM) yang tidak lain merupakan fenomena couple antara atmosfer
dan laut yang ditandai dengan perbedaan anomali dua kutub Suhu Permukaan Laut (
SPL) di Samudera Hindia tropis bagian timur (perairan Indonesia di sekitar
Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia tropis bagian tengah sampai barat
(perairan pantai timur Benua Afrika).
Pada
saat anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di
bagian timurnya, maka terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai
timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami
penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini
biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode
Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai
DM (-).
Tinggi
atau rendahnya salinitas air laut dapat mempengaruhi curah hujan. Semakin tinggi
salinitas maka penguapan akan semakin besar, penguapan yang besar akan
mempengaruhi pertambahan curah hujan suatu wilayah.
Penguapan
terbesar terjadi pada bulan Agustus. Hal ini disebabkan karena bulan Agustus
merupakan puncak dari musim kemarau. Pada musim kemarau, intensitas semakin
rendah sedangkan penguapannya semakin tinggi karena sinar matahari yang jatuh
ke permukaan semakin banyak. Total curah hujan jauh lebih besar dibandingkan
dengan penguapan, hal ini menyebabkan wilayah Semarang tergolong iklim tropis.
Pada
praktikum ini, analisis data menggunakan diagram blok. Garis horizontal (fungsi
waktu bulanan) membagi dua garis verikal, yaitu vertikal atas untuk curah hujan
dan vertikal bawah untuk penguapan. Ini berfungsi untuk pembacaan data antara
curah hujan dan penguapan pada bulan tertentu menjadi lebih mudah.
V.
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
1.
Analisis data
curah hujan dan penguapan dengan menggunakan diagram blok. Curah hujan terbesar
terjadi pada bulan Maret dan curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus.
Sedangkan, penguapan terbesar terjadi pada bulan Agustus dan penguapan terkecil
terjadi pada bulan November dan Desember.
2.
Pada praktikum
ini, mahasiswa telah mampu membuat diagram curah hujan dan penguapan.
3.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, MS, 2010. Modul Klimatologi. Jawa Timur: Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Landasan Pemahaman Fisika
Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Bogor:
FMIPA-IPB
Linsley. 1996. Hidrologi Untuk Insinyur, Erlangga,
Jakarta
Nawawi, G. 2001. Pengantar Klimatologi Pertanian. Modul
Dasar Bidang Keahlian. Proyek Pengembangan Sistem Standar Pengelolaan SMK.
Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan
Nasional.
Soedibyo. 2003. Teknik Bendungan. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Soemarto. 1986. Hidrologi Teknik. Erlangga, Jakarta
Suharyono, Yonatha Alfa.
2011. Perencanaan Embung Kalen Desa Hargosari Kecamatan Tanjungsari
Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. S1 thesis, UAJY
Suroso. 2006. Analisis Curah Hujan untuk Membuat Kurva
Intensity-Duration-Frequency (IDF) di Kawasan Rawan Banjir Kabuaten Banyumas.
Jurnak Teknik Sipil, Vol. 3, No.1. Purwakarta : Universitas Jendral Sudirman
Tjasjono, B. 2004. Klimatologi Umum. Bandung: ITB
Triatmodjo, Bambang. 2008.
Hidrologi Terapan. Beta Offset,
Yogyakarta.
Terimakasih atas informasi komprehensifnya. Isi artikel ini bermanfaat sebagai informasi pendukung dalam budidaya kelautan atau marikultur
BalasHapusIya terimakasih kembali dan selamat membaca.
Hapus